Bukan bentuk tahu, maupun rasa
dari judul diatas yang saya mau tulis dalam coretan ini, karena
rasanya-pun tidak ada yang spesial dari tahu petis satu ini, biasa.
Namun yang spesial adalah: sosok penjual dari tahu petis keliling satu
ini, dengan gerobak becak yang ia modifikasi sedemikian rupa, hingga
bisa dialih fungsikan sebagai alat penjemput rizki bagi keberlangsungan
kepulan asap dapur keluarganya, dengan menjual tahu-tahu tradisional
yang ia kulak dari produsen tahu. Dapat anda bayangkan, betapa tidak
banyak labanya, apabila dijual 500 perak /biji, dari harga kulak 400
perak/bijinya.
Sampai sekarangpun saya masih belum tahu juga siapa
nama sosok satu ini, sebut saja Pak Tua. Sudah lama saya ingin
menuliskan sesuatu tentang Pak Tua satu ini, entahlah, saya merasa ada
sesuatu yang istimewa dari Pak Tua ini, meskipun saya tidak tahu apa
keistimewaannya. Semakin lama saya menunda menulis tentang Pak Tua,
sedikit demi sedikit mulai terkuak informasi tentangnya, tanpa sengaja,
tanpa nyana.
--------------------
Pertama kali saya membeli
dagangannya sewaktu tidak sengaja melewati jalan sekitaran Kelurahan
Merjosari. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30 Wib, Melihatnya
berhenti menunggu calon pembeli larut malam itu, saya mungkin sebagian
dari orang yang tidak tega melihat penjual yang termangu “do nothing”sembari menunggu pembeli. Saya hampiri ia.
Sambil
membungkuskan beberapa biji tahu sesuai pesanan saya, sempat terjadi
percakapan singkat antara saya dan Pak tua, sangat singkat. Hingga saya
mengambil hikmah dari percakapan itupun dengan kesimpulan yang sangat
singkat pula,: PAK TUA YANG MERDEKA! Tidak ada keluh darinya sewaktu
saya pancing apa keluh kesahnya berjualan tahu petis keliling, meskipun
wajah keriputnya pekat menampakkan lelah.
Kembali saya naiki
sepeda motor meninggalkan Pak Tua. Sesaat saya menoleh kepadanya, saya
melihat Pak Tua kembali menyeruput rokok kreteknya yang tadi ia letakkan
sejenak sewaktu melayani pembeli, sebagai pengusir hawa dingin, dengan
kopyahnya yang hitam kemerah-merahan usang, dan baju koko lengan
panjangnya yang mulai memudar selalu setia menemaninya melewati malam
itu, Pak Tua kembali duduk disamping gerobaknya, termangu menunggu calon
pembeli selanjutnya. Seperti semula. Sabar dan telaten, sembari menata
kembali tumpukan tahu yang masih tersisa.
----------------------
Tanpa
sadar, selang berjalannya waktu, saya termasuk dalam daftar salah satu
pelanggannya. Sekali lagi, bukan karena rasa tahu petisnya yang membikin
saya ketagihan untuk membelinya, melainkan karena kekaguman saya atas
sosok ini, meskipun apabila ada yang bertanya: apa penyebab kekaguman
itu muncul, saya akan menjawab: ”Entahlah, saya belum tahu...”
----------------------
Kira-kira
satu bulan lalu, suatu sore dalam perjalanan sepulang saya dari kantor,
tanpa sengaja saya berpapasan dengan Pak Tua yang baru berangkat
memulai berjualan melewati jalan jurang menanjak di sekitaran dusun
Klandungan, ia mendorong gerobak sekuat tenaga tuanya menaiki jalan
tanjakan itu. Namun kali ini saya diperlihatkan dengan pandangan yang
berbeda dari biasanya. Biasanya, saya menjumpai Pak Tua selalu dimalam
hari, ia sendirilah yang mendorong gerobaknya. Saya tidak tahu kalau
ternyata ada rutinitas setiap sore sewaktu ia baru berangkat
meninggalkan rumah untuk berjualan, ia selalu dibantu oleh seorang
perempuan remaja berperawakan kecil, wajahnya bersih, berjilbab. Ia-lah
anak Pak Tua itu, yang selalu membantunya setiap sore melewati jalan
tanjakan itu.
Subhanallah. Kalau hari-hari biasanya,saya
dikagumkan dengan sosok tua pemangku tulang punggung keluarga ini, kini
bertambah kekaguman saya kepada tokoh gadis berhijab, anak Pak Tua.
Salut atas salah satu pengabdiannya, ketidak gengsinya mendorong gerobak
membantu bapaknya yang sudah nampak jelas kerutan diwajahnya.
Sisa
perjalanan pulang saya sore itu, saya memperoleh pelajaran berharga
akan kekompakan anak dan bapak penjual tahu petis keliling. Tidak
terasa, ada sesuatu yang mengalir dari kelopak mata saya melihat
pemandangan sore itu.
-----------------
15 hari kemudian...
Kemarin
malam, kebetulan sewaktu saya membeli martabak dikawasan Merjosari,
seseorang pemilik kios martabak berkata kepada rekan sejawatnya: “Cak, sampean percaya ta ga’, wong seng dodol tahu petis iku, ana’e mulai SD sampe kuliah oleh beasiswa terus lo...”
sambil menunjuk kearah Pak Tua penjual tahu petis yang kebetulan sedang
berhenti didepan seberang jalan,persis seperti pertama kali saya
membeli tahu yang saya ceritakan sebelumnya.
“Ana’e kuwi wes tau dikirim pertukaran pelajar nang Jepang barang...” imbuhnya
dengan memakai logat jawa yang medok. Sedangkan saya, hanya mendengar
perbincangan mereka berdua. Sungguh, semua informasi itu terjadi secara
kebetulan saja. Sumber lain mengatakan, Pak tua adalah seorang yang
aktif dalam ubudiyah kesehariannya. Mungkin Allah sedang memberikan
informasi melalui pemilik kios martabak akan kekaguman saya atas Pak Tua
yang selama ini belum saya ketahui.
Subhanallah,
bertambah lagi ketakjuban saya akan keluarga tersebut. Ditengah
keterbatasannya itu, Pak Tua masih mampu mengantarkan dan membimbing
anaknya menjadi generasi yang luar biasa.
Mungkin banyak diantara
kita yang lebih beruntung nasibnya, yang terlahir dari orang tua yang
serba berkecukupan. Tapi perlu diingat, jangan pernah mengandalkan nama
besar orang tua sebagai tameng mempertebal gengsi dan lifesyle. Dimana selalu menikmati, menenteng dan gonta-ganti hp seri terbaru, tablet, kendaraan kinyis-kinyis, yang tanpa kita rasakan jerih payah orang tua membelikannya untuk kita. Sudah saatnya belajar memulai mencari jati diri!
“Laisa ‘al-fata’/syabab man yaqulu hazda abi, walakinnassyabab/’al fata’ man yaqulu ha ana zda...”
Bukanlah
pemuda sejati yang mengekor nama besar orang tua, ini loh Bapakku!
Melainkan pemuda sejati adalah yang mengatakan, ini loh jati diriku!
0 komentar:
Posting Komentar