Mungkin judul diatas mengundang pertanyaan
dibenak anda, kenapa harus di restorasi ibadah jumat yang selama ini
kita laksanakan?Bukankah prosesi Ibadah sholat jumat adalah ya sudah
begitu sedari dulunya?apakah restorasi ibadah sholat jumat tidak bid’ah?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan itulah yang sedang bergelanyut dalam
pemikiran anda, sebagai umat islam.
Bukanlah se-ekstrem begitu
yang dimaksud, penulis hanya ingin membuat agar suasana ibadah kita
tidak membosankan, dan menjadikan ‘waktu tidur paling nikmat’ saat
khutbah berubah menjadi fungsi sebenarnya, yaitu memberikan siraman
ruhani yang betul-betul dapat merasuk dan teresap manis pada para jamaah
ibadah sholat jum’at. Plus dapat memberikan efek luar biasa positif
baik dalam hubungan hablumminallah dan hablum minannas-nya. Setelah keluar dari masjid di setiap jum’atnya.
Sudah
lama gagasan ini saya simpan dan saya biarkan berkecamuk dalam benak
saja. Tapi entahlah, kenapa disetiap jum’at yang saya lalui semakin
bertambah mengkristalnya kegundahan ini. Bukannya saya tidak sepakat
dengan prosesi dalam ibadah sholat jumat selama ini, namun perlu adanya
modifikasi-modifikasi kecil yang masih bisa kita tolelir didalamnya.
Awal
mula kegalauan saya muncul setelah saya mengikuti salah satu pertemuan
“Inter faith Dialog of International Youth” disalah satu negara, yang
diikuti oleh para pemuda lintas agama, dari 3 benua: Asia (Indonesia,
Filiphina, Sri Langka, Thailand), Eropa( Jerman, Amerika,Prancis,
Inggris), Afrika (Angola, Kongo, Kamerun). Karena pertemuan ini
bertujuan untuk saling mengenal dan mengetahui ajaran lintas agama, maka
kamipun di tempatkan saling silang. Seperti saya contohnya, saya
beragama Islam, maka saya di persilahkan untuk memilih ajaran agama apa
yang mau di pelajari, dan harus tinggal di tempat “pesantren” agama
tersebut selama 7 hari lamanya. Pun, juga sebaliknya, apabila sang
peserta beragama Budha, maka ia di persilahkan untuk mempelajari agama
selain Budha. Peserta harus bertempat dimana ia harus mempelajari agama
tersebut, begitu seterusnya. Apabila ada peserta dari agama lain hendak
mempelajari Islam, maka harus menginap di pesantren selama 7 hari. Lalu
pada hari terakhir, kami diwajibkan untuk memberikan presentasi didepan
peserta yang lainnya. Saat itu, agama Islam-lah yang paling banyak di
minati.
Waktu itu, saya memilih agama Kristen dan Budha. Kemudian untuk kami pelajari tata cara ubudiyah-nya
dan budayanya. Tentu, saya harus tinggal di Seminari dan vihara,
semacam pesantren bagi orang Islam, guna mempelajari agama tersebut.
Selama 7 hari. Dalam tulisan ini, saya tidak menitik beratkan tentang
ajaran teologinya, namun ada budaya yang menarik dalam ibadahnya, yang
sangat memungkinkan untuk kita adobsi dengan tanpa mengurangi
penghormatan kita dalam ajaran ibadah Islam, malahan, sangat bisa pula
untuk di singkronkan dengan tidak bertentangan dengan pakem. Karena
sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah yang biasa kita lakukan dalam
budaya islam.
DIADOPSI? Bukankah meniru budaya orang selain Islam
itu dilarang? Tidak semua. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, maka menurut saya, sah-sah saja. Kalaupun masih ada
diantara kita yang meragukan statement diatas, mari kita menengok
kembali sejarah Islam yang adaptif.
Tentu anda sangat familiar
dengan bangunan berikut: Menara dan Kubah. Karena dua jenis ornament ini
seolah menjadi keniscayaan akan keberadaannya dalam setiap masjid.
Apakah anda kira itu adalah budaya Islam murni? Jawabanya adalah: bukan.
Mungkin sangat mengejutkan. Mari kita arungi lagi.
Dalam beberapa
sumber disebutkan, sesungguhnya bentuk kubah itu adalah menyerupai
tanda kehormatan wanita:"Payudara"! Dan menara itu adalah tanda
kehormatan dan keperkasaan pria:"Penis"! Budayanya siapakah itu?
jawabnya adalah: Penyembah api, Majusi!
Ini bukti bahwa, Islam
sangat terbuka terhadap akulturasi. Dulu memang, menara adalah budaya
milik Majusi, berhubung Islam bisa memainkan kendali budaya itu, maka
terjadilah Islamisasi budaya tersebut. Dan saya yakin, awal mula
munculnya menara dan kubah pada masjid, tentu mengalami pertentangan
antara umat Islam. Seiring kegigihan pencetus nya, saat ini kita tidak
mendapati perdebatan tersebut.
Ada lagi yang sekarang dianggap
oleh banyak pihak terkait sorban, imamah, dan jubah adalah produk islam.
Jauh sebelum rosul SAW lahir, Abu Lahab, Abu Jahal dkk sudah
memakainya. Bukankah mereka non muslim?Tapi kenapa hari ini apabila
seseorang memakainya, sangat tampak kesan islaminya? Itulah beberapa
contoh Islamisasi budaya.
----------------
Selama saya di
Seminari, saya pernah menjumpai 1 hari minggu, dimana pemeluk agama
Kristen melaksanakan ibadah mingguannya. Ada beberapa yang menjadi
catatan-catatan kecil bagi saya.
Masuk ke Gereja adalah pengalaman
pertama saya waktu itu. Tentu anda bisa bayangkan bagaimana kekalutan
hati ini, dalam benak hati saya Cuma ada satu doa, “Ya Allah, jangan
ambil nyawa saya ketika saya berada didalam ruangan ini, Ya Allah!”
sangat tidak tenang hati saya. Namun ada satu teman satu tim dari
Indonesia yang meyakinkan bahwa agar pandai-pandai untuk menata niatnya,
insya Allah tidak membuat iman kita lepas. Meskipun ia alumni salah
satu pesantren terbesar di Jombang, dengan keilmuan yang mumpuni dalam
hal perbandingan agama, dan dengan beberapa hujjah yang ia
sampaikan kepada saya, tetap saja tidak mengurangi kekhawatiran akan
kesyirikan yang akan diklaimkan kepada saya. Tapi tetap saya lanjutkan
saja, sambil berkata kepada Tuhan” Gusti, Panjenengan Moho sumerap nopo ingkang kawulo maksud, mugi paring teteping iman, suer, saya tidak akan menduakan-Mu, Bismillah, niat ingsun ngangsu kaweruh ngilmune Gusti Allah!”. Likulli Makan, Madrasah. Semua tempat adalah tempat belajar dan mengais ranah pemahaman.
----------
Sebelum
memasuki gereja, disana sudah berjajar penerima tamu jamaat, baik
penerima tamu pria, maupun wanita. Setiap jamaat yang datang selalu
mendapatkan salaman dengan ucapan ramah,”Selamat hari Minggu,
Bapak/Ibu...”, lalu di sodorkan lembaran kertas, isi khutbah yang akan
di sampaikan Juru khotbah nanti.
Sesampainya berada didalam
gereja, jemaat sudah disambut oleh pemuda-i dengan berpakaian adat yang
mengarahkan kemana kita harus duduk. Tentu, tidak lupa dengan senyuman
mereka yang ramah. Sambil menikmati suguhan paduan suara choir, pemuda-i
tadi yang bertugas mempersilahkan tamu, berubah fungsi tugas dengan
menenteng kain merah mengkilat, sejenis kain satin, yang dihias
sedemikian rupa, sebagai kotak amal yang di kawal oleh “Remaja Gereja”
dengan sangat simpatik, dengan tidak mengubah asas kerahasiaan para
jamaat dalam beramal. Terasa ringan untuk mengeluarkan uang guna beramal
di gereja saat itu. Berbeda dengan suasana prosesi jum’at-an saat ini,
kotak amal berjalan dengan sendirinya, sambil di geret oleh jama’ah
secara swadaya, tidak jarang harus mencolek jama’ah yang hendak dilalui
kotak amal tersebut, dikarenakan ia sedang tertidur pulas, hmm...
------
Setelah
semuanya siap, dan sesuai dengan waktu yang ditentukan, prosesi ‘ibadah
minggu’ itu di mulai. Pengkhutbah yang sudah datang satu jam lalu
menaiki mimbar dan memberikan khutbahnya sesuai dengan konsep yang telah
disebarkan kepada para jamaat sebelumnya. Nah, inilah adegan yang saya
sangat kagum.Begini ceritanya: Pengkhutbah yang datang satu jam sebelum
peribadatan, menuju ke ruang karantina, ia harus menelaah kembali
tentang materi khutbah yang hendak disampaikan, tidak ada istilah
dadakan atau asal njeplak dalam menyampaikan materinya. Juga
asal muasal lembaran khutbah yang diberikan kepada jamaah tadi, tentu
sudah dipersiapkan sebelumnya: tentang bagaimana konsepnya, memperbanyak
foto copy-nya, yang tidak dilakukan secara dadakan, sangat well-prepaired.
Adalagi
kiat yang efektif dalam penyampaian khutbahnya, yaitu, hampir disetiap 3
menit sekali, mengajak para jamaat bernyayi pujian baik dengan duduk
maupun dengan berdiri bersama. Hal ini sangat efektif bagi penaggulangan
para jamaah yang ngantuk. Bagaimana mau tidur, kalau hampir tertidur
pengkhutbahnya sudah mengajak berdiri dan bernyanyi?:).
Dalam hal
ini, kita tidak harus mengambil cara dengan mengajak para jamaah jum’at
menyanyi disela-sela khotib berkhutbah. Melainkan cara bagaimana membuat
jamaah merasa tersirami rohaninya dengan semangat dan antusias dengan
apa yang di sampaikan oleh khotib, dimana sang khotib sudah
mempersiapkan secara sistematis apa yang hendak ia sampaikan. Dengan
penyampaian untuk mengajak meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah secara inspiratif, up to date, inovatif, sehingga dapat
menghapus kesempatan jama’ah untuk menjadikan sidang jum’at sebagai
waktu paling pas untuk lepas dari rutinitas kegiatan yang bermuara pada
kepulasan tidurnya, disebabkan isi dan penyampaian sang khotib dalam
khutbahnya yang tidak ter-cover dengan baik.
-------
Di
gereja, setelah prosesi selesai, para jamaat keluar dengan tertib, dan
didepan pintu sudah disambut oleh para ‘ta’mir’ yang menyambutnya dengan
bersalaman dan tidak lupa mengucapkan “selamat hari minggu,
bapak/ibu...”. Hal ini menciptakan kesan keramahan yang dibuat
dilingkungan gereja kepada para jemaatnya. Gayeng.
Bandingkan
dengan masjid kita, setelah selesainya prosesi sholat jum’atan, para
jamaah pulang dengan sendiri-sendiri, tanpa ada sambutan pelepasan dari
takmir yang sebenarnya ia akan membawa kesan feel comfort bagi
para jamaah. “Ah, itu wacana..ribet, bertele-tele...” mungkin ada
komentar demikian, tapi hal penting untuk diciptakan. Adegan semacam ini
penulis pernah menemuinya di salah satu masjid, mungkin ini
satu-satunya sementara ini yang sudah dilaksanakan akan penyambutan para
jamaah jum’at tatkala memasuki masjid, di Masjid Sabilillah Singosari,
para takmir yang kebetulan piket di jum’at saat itu, menyambut para
jamaah yang datang dan mempersilahkan menuju shof yang belum terisi,
sambil mengenakan jas masjid Sabilillah secara berseragam, sangat
teratur, barangkali budaya demikian dapat menjadi tauladan bagi
masjid-masjid yang lain untuk mengikutinya.
-------------
“Bukankah
banyak keunggulan yang kita miliki yang tidak dimiliki oleh mereka?” .
Saudaraku, adalah sebuah keniscayaan untuk tetap melestarikan dan
menjaga apa yang menjadi kelebihan atas semua anugerah ini, namun ada
baiknya untuk tidak menutup mata atas banyak hal yang menjadikan sesuatu
itu menjadi lebih baik, ‘Almuhafadhah ‘alal qodim as-sholih, wal ahdu bil jadidi al-aslah’
(menjaga (sesuatu tatanan lama) yang baik, dan mengambil sesuat baru
yang lebih baik). Tulisan ini tidaklah bermaksud membanding-bandingkan
antara aktivitas gereja vs aktivitas masjid, melainkan adalah kebaikan
dan peningkatan pelayanan terhadap jamaah yang kami tuju. Agar semua
dapat lebih mudah memahami dan memaknai akan kosa kata : kenyamanan,
keramahan, konsistensi dalam ber-ubudiyah, dimana kita sudah lama
mendengar dan mempelajarinya dalam beragama islam ini. 10 dari 10 orang
islam pernah mendengar dan mempelajari tentang Islam, namun sementara
ini, 1 dari 10 orang Islam saja yang mau mengaplikasikan keislamannya.
Wallahu ‘alam bisshowab.
(Refleksi Penulis dalam Jum’at kali ini).
-------------
0 komentar:
Posting Komentar