Jumat, 31 Januari 2014

RESTORASI JUM’AT-an


Mungkin judul diatas mengundang pertanyaan dibenak anda, kenapa harus di restorasi ibadah jumat yang selama ini kita laksanakan?Bukankah prosesi Ibadah sholat jumat adalah ya sudah begitu sedari dulunya?apakah restorasi ibadah sholat jumat tidak bid’ah? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itulah yang sedang bergelanyut dalam pemikiran anda, sebagai umat islam.
Bukanlah se-ekstrem begitu yang dimaksud, penulis hanya ingin membuat agar suasana ibadah kita tidak membosankan, dan menjadikan ‘waktu tidur paling nikmat’ saat khutbah berubah menjadi fungsi sebenarnya, yaitu memberikan siraman ruhani yang betul-betul dapat merasuk dan teresap manis pada para jamaah ibadah sholat jum’at. Plus dapat memberikan efek luar biasa positif baik dalam hubungan hablumminallah dan hablum minannas-nya. Setelah keluar dari masjid di setiap jum’atnya.

Sudah lama gagasan ini saya simpan dan saya biarkan berkecamuk dalam benak saja. Tapi entahlah, kenapa disetiap jum’at yang saya lalui semakin bertambah mengkristalnya kegundahan ini. Bukannya saya tidak sepakat dengan prosesi dalam ibadah sholat jumat selama ini, namun perlu adanya modifikasi-modifikasi kecil yang masih bisa kita tolelir didalamnya.
Awal mula kegalauan saya muncul setelah saya mengikuti salah satu pertemuan “Inter faith Dialog of International Youth” disalah satu negara, yang diikuti oleh para pemuda lintas agama, dari 3 benua: Asia (Indonesia, Filiphina, Sri Langka, Thailand), Eropa( Jerman, Amerika,Prancis, Inggris), Afrika (Angola, Kongo, Kamerun). Karena pertemuan ini bertujuan untuk saling mengenal dan mengetahui ajaran lintas agama, maka kamipun di tempatkan saling silang. Seperti saya contohnya, saya beragama Islam, maka saya di persilahkan untuk memilih ajaran agama apa yang mau di pelajari, dan harus tinggal di tempat “pesantren” agama tersebut selama 7 hari lamanya.  Pun, juga sebaliknya, apabila sang peserta beragama Budha, maka ia di persilahkan untuk mempelajari agama selain Budha. Peserta harus bertempat dimana ia harus mempelajari agama tersebut, begitu seterusnya. Apabila ada peserta dari agama lain hendak mempelajari Islam, maka harus menginap di pesantren selama 7 hari. Lalu pada hari terakhir, kami diwajibkan untuk memberikan presentasi didepan peserta yang lainnya. Saat itu, agama Islam-lah yang paling banyak di minati.
Waktu itu, saya memilih agama Kristen dan Budha. Kemudian untuk kami pelajari tata cara ubudiyah-nya dan budayanya. Tentu, saya harus tinggal di Seminari dan vihara, semacam pesantren bagi orang Islam, guna mempelajari agama tersebut. Selama 7 hari.  Dalam tulisan ini, saya tidak menitik beratkan tentang ajaran teologinya, namun ada budaya yang menarik dalam ibadahnya, yang sangat memungkinkan untuk kita adobsi dengan tanpa mengurangi penghormatan kita dalam ajaran ibadah Islam, malahan, sangat bisa pula untuk di singkronkan dengan tidak bertentangan dengan pakem. Karena sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah yang biasa kita lakukan dalam budaya islam.
DIADOPSI? Bukankah meniru budaya orang selain Islam itu dilarang? Tidak semua. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka menurut saya, sah-sah saja. Kalaupun masih ada diantara kita yang meragukan statement diatas, mari kita menengok kembali sejarah Islam yang adaptif.
Tentu anda sangat familiar dengan bangunan berikut: Menara dan Kubah. Karena dua jenis ornament ini seolah menjadi keniscayaan akan keberadaannya dalam setiap masjid. Apakah anda kira itu adalah budaya Islam murni? Jawabanya adalah: bukan. Mungkin sangat mengejutkan. Mari kita arungi lagi.
Dalam beberapa sumber disebutkan, sesungguhnya bentuk kubah itu adalah menyerupai tanda kehormatan wanita:"Payudara"! Dan menara itu adalah tanda kehormatan dan keperkasaan pria:"Penis"! Budayanya siapakah itu? jawabnya adalah: Penyembah api, Majusi!
Ini bukti bahwa, Islam sangat terbuka terhadap akulturasi. Dulu memang, menara adalah budaya milik Majusi, berhubung Islam bisa memainkan kendali budaya itu, maka terjadilah Islamisasi budaya tersebut. Dan saya yakin, awal mula munculnya menara dan kubah pada masjid, tentu mengalami pertentangan antara umat Islam. Seiring kegigihan pencetus nya, saat ini kita tidak mendapati perdebatan tersebut.
Ada lagi yang sekarang dianggap oleh banyak pihak terkait sorban, imamah, dan jubah adalah produk islam. Jauh sebelum rosul SAW lahir, Abu Lahab, Abu Jahal dkk sudah memakainya. Bukankah mereka non muslim?Tapi kenapa hari ini apabila seseorang memakainya, sangat tampak kesan islaminya? Itulah beberapa contoh Islamisasi budaya.
----------------
Selama saya di Seminari, saya pernah menjumpai 1 hari minggu, dimana pemeluk agama Kristen melaksanakan ibadah mingguannya. Ada beberapa yang menjadi catatan-catatan kecil bagi saya.
Masuk ke Gereja adalah pengalaman pertama saya waktu itu. Tentu anda bisa bayangkan bagaimana kekalutan hati ini, dalam benak hati saya Cuma ada satu doa, “Ya Allah, jangan ambil nyawa saya ketika saya berada didalam ruangan ini, Ya Allah!” sangat tidak tenang hati saya. Namun ada satu teman satu tim dari Indonesia yang meyakinkan bahwa agar pandai-pandai untuk menata niatnya, insya Allah tidak membuat iman kita lepas. Meskipun ia alumni salah satu pesantren terbesar di Jombang, dengan keilmuan yang mumpuni dalam hal perbandingan agama, dan dengan beberapa hujjah yang ia sampaikan kepada saya, tetap saja tidak mengurangi kekhawatiran akan kesyirikan yang akan diklaimkan kepada saya. Tapi tetap saya lanjutkan saja, sambil berkata kepada Tuhan” Gusti, Panjenengan Moho sumerap nopo ingkang kawulo maksud, mugi paring teteping iman, suer, saya tidak akan menduakan-Mu, Bismillah, niat ingsun ngangsu kaweruh ngilmune Gusti Allah!”. Likulli Makan, Madrasah. Semua tempat adalah tempat belajar dan mengais ranah pemahaman.
----------
Sebelum memasuki gereja, disana sudah berjajar penerima tamu jamaat, baik penerima tamu pria, maupun wanita. Setiap jamaat yang datang selalu mendapatkan salaman dengan ucapan ramah,”Selamat hari Minggu, Bapak/Ibu...”, lalu di sodorkan lembaran kertas, isi khutbah yang akan di sampaikan Juru khotbah nanti.
Sesampainya berada didalam gereja, jemaat sudah disambut oleh pemuda-i dengan berpakaian adat yang mengarahkan kemana kita harus duduk. Tentu, tidak lupa dengan senyuman mereka yang ramah. Sambil menikmati suguhan paduan suara choir, pemuda-i tadi yang bertugas mempersilahkan tamu, berubah fungsi tugas dengan menenteng kain merah mengkilat, sejenis kain satin, yang dihias sedemikian rupa, sebagai kotak amal yang di kawal oleh “Remaja Gereja” dengan sangat simpatik, dengan tidak mengubah asas kerahasiaan para jamaat dalam beramal. Terasa ringan untuk mengeluarkan uang guna beramal di gereja saat itu. Berbeda dengan suasana prosesi jum’at-an saat ini, kotak amal berjalan dengan sendirinya, sambil di geret oleh jama’ah secara swadaya, tidak jarang harus mencolek jama’ah yang hendak dilalui kotak amal tersebut, dikarenakan ia sedang tertidur pulas, hmm...
------
Setelah semuanya siap, dan sesuai dengan waktu yang ditentukan, prosesi ‘ibadah minggu’ itu di mulai. Pengkhutbah yang sudah datang satu jam lalu menaiki mimbar dan memberikan khutbahnya sesuai dengan konsep yang telah disebarkan kepada para jamaat sebelumnya. Nah, inilah adegan yang saya sangat kagum.Begini ceritanya: Pengkhutbah yang datang satu jam sebelum peribadatan, menuju ke ruang karantina, ia harus menelaah kembali tentang materi khutbah yang hendak disampaikan, tidak ada istilah dadakan atau asal njeplak dalam menyampaikan materinya. Juga asal muasal lembaran khutbah yang diberikan kepada jamaah tadi, tentu sudah dipersiapkan sebelumnya: tentang bagaimana konsepnya, memperbanyak foto copy-nya, yang tidak dilakukan secara dadakan, sangat well-prepaired.
Adalagi kiat yang efektif dalam penyampaian khutbahnya, yaitu, hampir disetiap 3 menit sekali, mengajak para jamaat bernyayi pujian baik dengan duduk maupun dengan berdiri bersama. Hal ini sangat efektif bagi penaggulangan para jamaah yang ngantuk. Bagaimana mau tidur, kalau hampir tertidur pengkhutbahnya sudah mengajak berdiri dan bernyanyi?:).
Dalam hal ini, kita tidak harus mengambil cara dengan mengajak para jamaah jum’at menyanyi disela-sela khotib berkhutbah. Melainkan cara bagaimana membuat jamaah merasa tersirami rohaninya dengan semangat dan antusias dengan apa yang di sampaikan oleh khotib, dimana sang khotib sudah mempersiapkan secara sistematis apa yang hendak ia sampaikan. Dengan penyampaian untuk mengajak meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah secara inspiratif, up to date, inovatif, sehingga dapat menghapus kesempatan jama’ah untuk menjadikan sidang jum’at sebagai waktu paling pas untuk lepas dari rutinitas kegiatan yang bermuara pada kepulasan tidurnya, disebabkan isi dan penyampaian sang khotib dalam khutbahnya yang tidak ter-cover dengan baik.
-------
Di gereja, setelah prosesi selesai, para jamaat keluar dengan tertib, dan didepan pintu sudah disambut oleh para ‘ta’mir’ yang menyambutnya dengan bersalaman dan tidak lupa mengucapkan “selamat hari minggu, bapak/ibu...”. Hal ini menciptakan kesan keramahan yang dibuat dilingkungan gereja kepada para jemaatnya. Gayeng.
Bandingkan dengan masjid kita, setelah selesainya prosesi sholat jum’atan, para jamaah pulang dengan sendiri-sendiri, tanpa ada sambutan pelepasan dari takmir yang sebenarnya ia akan membawa kesan feel comfort bagi para jamaah. “Ah, itu wacana..ribet, bertele-tele...” mungkin ada komentar demikian, tapi hal penting untuk diciptakan. Adegan semacam ini penulis pernah menemuinya di salah satu masjid, mungkin ini satu-satunya sementara ini yang sudah dilaksanakan akan penyambutan para jamaah jum’at tatkala memasuki masjid, di Masjid Sabilillah Singosari, para takmir yang kebetulan piket di jum’at saat itu, menyambut para jamaah yang datang dan mempersilahkan menuju shof yang belum terisi, sambil mengenakan jas masjid Sabilillah secara berseragam, sangat teratur, barangkali budaya demikian dapat menjadi tauladan bagi masjid-masjid yang lain untuk mengikutinya.
-------------
“Bukankah banyak keunggulan yang kita miliki yang tidak dimiliki oleh mereka?” . Saudaraku, adalah sebuah keniscayaan untuk tetap melestarikan dan menjaga apa yang menjadi kelebihan atas semua anugerah ini, namun  ada baiknya untuk tidak menutup mata atas banyak hal yang menjadikan sesuatu itu menjadi lebih baik, ‘Almuhafadhah ‘alal qodim as-sholih, wal ahdu bil jadidi al-aslah’ (menjaga (sesuatu  tatanan lama) yang baik, dan mengambil sesuat baru yang lebih baik). Tulisan ini tidaklah bermaksud membanding-bandingkan antara aktivitas gereja vs aktivitas masjid, melainkan adalah kebaikan dan peningkatan pelayanan terhadap jamaah yang kami tuju. Agar semua dapat lebih mudah memahami dan memaknai akan kosa kata : kenyamanan, keramahan, konsistensi dalam ber-ubudiyah, dimana kita sudah lama mendengar dan mempelajarinya dalam beragama islam ini. 10 dari 10 orang islam pernah mendengar dan mempelajari tentang Islam, namun sementara ini, 1 dari 10 orang Islam saja  yang mau mengaplikasikan keislamannya. Wallahu ‘alam bisshowab.
(Refleksi Penulis dalam Jum’at kali ini).
-------------
Ditulis oleh: Faiz Wildan CATATAN GUS WILDAN Updated at : 01.33

0 komentar:

Posting Komentar