Ini adalah hari pertama saya
menikmati kembali Si Hujan yang sudah lama kami tak bersua, setelah
sekian lama dipisahkan oleh kemarau. Mungkin juga bukan pertama kalinya
hujan turun di beberapa daerah lainnya, tapi sekaranglah yang pertama
bagi kulit saya untuk disapanya. Baunya yang khas, menghilangkan keluhan
saya yang harus tiba-tiba berbelok arah ke warung sate untuk sejenak
berteduh dari sapanya. Tidak ada perlengkapan apapun untuk menyambutnya,
seperti jas hujan, sandal cadangan pengganti sepatu apabila hujan tiba
disaat saya berkendara bersama Muhammad Shogun, sepeda terkasih saya.
Sekali lagi, tidak membuat saya keluh atas kedatangannya. Adeeemm....
rasanya. Disinilah saya mendapatkan adegan indah yang sudah lama tidak
saya tonton, seperti petang ini. Dalam warung sate.
Sembari
menikmati tiap tusuknya, saya melihat anak-anak kecil berlari-lari kecil
bersenandung riang, saya kira mereka sedang bernyanyi...”
Tik..tik..tik,bunyi hujan diatas plafon....” *sepertinya
liriknya ngga' gitu deh?*. diiringi musik hujan yang luar biasa merdu
bagi mereka yang mendengar dalam-dalam. Disisi lain, mungkin juga kali
ini, akan menjadi rutinitas bagi abang tukang sate dan abang-abang
pedagang malam lainnya, untuk beberapa menit sekali mengelap rombongnya
yang di tetesi buliran-buliran air hujan. Semoga tidak menjadikan gerutu
atas aktivitas barunya ini.:). Andaikan saya ditugasi oleh Tuhan
sebagai pemandu untuk hujan, akan hendak kemana rute yang sebaiknya ia
harus lalui, maka saya akan memasukkan dalam agenda kunjungannya untuk
berkunjung ke Bukit Panderman-Batu, yang sedang kebakaran dalam kurun
tiga hari ini. Lalu menuju kedaerah yang sudah lama kekurangan air bagi
rakyatnya, disusul ke daerah-daerah lain yang sedang bernasib sama. Dan,
andai saja Sang Hujan mampu menembus masing-masing kalbu manungsa, maka
rute selanjutnya adalah akan saya bawa untuk berkenan mampir menyirami
hati-hati mereka yang gersang, yang tidak tersinggahi cinta dan kasih
sayang.
Adegan ini masih berlanjut....
Dalam nada
hujan, saya seolah memahami kedatanganya kali ini, ia yang ingin menjadi
utusan yang dipercaya Allah sebagai penjawab bagi doa-doa para petani
yang sudah lama tak dikunjunginya: tanah sawahnya yang mulai dilanda
keretakan, doa-doa para gunung yang hutannya sudah banyak terbakar:
disulut tangan-tangan jahil, para debu yang sudah mulai lelah
beterbangan menjadi penyeimbang alam selama ditinggal Si Hujan, para
sungai-sungai yang mulai dehidrasi yang terus dituntut manusia untuk
kebutuhan mereka, dan tentu, doa para fans pencium aroma tanah penghujan
yang sudah lama hidung mereka tak lagi ‘kembut-kembut’ menelusuri tiap aroma hujan bersemi. Ah... indah nian petang ini.
Dalam
keriangan saya menyambut hujan, masih juga menyimpan kegundahan dalam
diri ini. Yaitu, tidak banyak teman yang sama-sama tidak siap akan
kedatangan hujan,yang harus menyambutnya untuk pertama kali diawal musim
dengan dibarengi nikmat sate, secangir jeruk panas, atau tidak
mendapati pemberhentian yang pas untuk berteduh, atau harus rela
berbasah-basah dalam penyambutannya. Hmm.. apapun keadaannya, semoga
tidak ada ruang keluh dalam diri mereka, semoga...
Selamat datang
kembali Sahabatku, Hujan, di bumi pertiwi. Semoga datangmu adalah
rahmat, bukan suatu laknat. Datanglah kembali secara terukur, agar kami
menyambutmu dengan rasa yang kami sebut: Syukur.
0 komentar:
Posting Komentar