Sebuah kecelakaan yang terjadi hampir 7 bulan lalu memaksa saya untuk rest at home
yang menyebabkan diri saya absen dalam jangka beberapa bulan dari
aktivitas biasanya. Kecelakaan saat itu mencederai kaki kiri saya.
Kecelakaan lalu lintas semacam ini bukanlah yang pertama kali. 15 bulan
lalu, tangan kanan saya yang harus di bopong 1,5 bulan lamanya. Sebab
itulah, menghadapi cobaan kali itu mental saya jauh lebih siap ketimbang
kejadian pertama dulu. Alhamdulillah, tidak ada gugup dan kehebohan
sendiri yang saya ciptakan, landai-landai saja. Tapi kalau masalah
sakit, nah... jangan ditanya, itu yang tidak bisa di tahan, sama
sakitnya! Hedew.
Selama istirahat dirumah, tidak ada
aktivitas berarti yang saya lakukan. Bukan karena malas, melainkan
gerakan tubuh saya yang sangat terbatas. Note book putih kecil
inilah yang setia menenemani saya sampai dini hari, untuk melampiaskan
hobi yang masih bisa saya lakukan, menulis. Ya... menulis apapun. Ups, ada satu lagi hobi yang masih sangat fasih saya lakukan: Berimajinasi! (sama nggak ya dengan berhayal?). Menurut saya, dua hobi inilah yang saling mengisi menghibur saya. Habis berimajinasi, terus ditulis. Ah... amboi.
Salah satu hasil tulisan imajinatif yang sempat terlahir adalah tentang
anak imajinasiku, Muhammad Revolusi Dunia, yang insya Allah semoga akan
terlahir secara nyata dengan selamat di tahun 2019. notenya bisa d
kunjungi di catatan fb saya sekitar terbitan bulan Juni. judul tulisan
nya adalah: SECARIK TULISAN TENTANG MUHAMMAD. Selain itu juga ada beberapa tulisan yang berjudul: TAYAMMUM UNIVERSALIS, LA TAHZAN, MATA UANG TUHAN, ADA CERITA DI 26, dst.
-------------
Merenung.
Nah... ini juga salah satu aktivitas kesukaan saya yang kebetulan tidak
terlalu melibatkan banyak anggota tubuh. Paling, salah satunya yang
sering ikut terlibat adalah gerakan kedua mata dan wilayah sekitarnya
yang mulai kedap-kedip tanda ngantuk. Kemudian diteruskan pula ke acara
selanjutnya, tidur. Ketiduran- tepatnya-.
Pernah suatu saat, saya merenungkan tentang rasa sakit yang di timbulkan dari kaki saya yang baru saja accident. Saya bertanya pada diri sendiri: “Kenapa saya masih merasakan sakit pada kaki saya?” Lalu saya jawab-jawab sendiri “Ya...
karena itulah tanda bahwa saya masih mempunyai kaki, dan rasa sakit itu
adalah tanda bahwa urat syarafnya masih dapat menerima rangsangan.
Bagaimana jadinya andaikan kaki ini mulai mati rasa? Wah, malah lebih
payah lagi itu.” Ndak tau ya, saya tiba-tiba sok bijak sore itu. Dengan menghela nafas panjang, saya mulai memahami kembali betapa Allah masih ngeman anggota tubuh ini, sehingga masih diamanahkan kepada saya sampai sekarang. Subhanallah wal hamdulillah.
Entah
ini kebetulan atau sudah direncanakan oleh Allah. Sesaat setelah
perenungan itu, saya melihat di salah satu acara televisi yang
menayangkan sebuah keluarga kecil yang beranggotakan sepasang suami
istri dan dikaruniai satu anak perempuan beranjak remaja yang putus
sekolah, dari daerah Sumenep-Madura. Mereka tinggal di sebuah gubuk
reyot tak layak huni. Setiap harinya, sang suami bekerja sebagai
pemanjat pohon kelapa yang menjulang tinggi guna mengambil pelepahnya,
untuk dijadikan ‘bajong’, semacam keranjang yang terbuat dari pelepah
kelapa. Lalu istrinya-lah yang memasarkan ke pasar desa, dan berkeliling
kampung, dengan harga per buahnya 2000 perak! Sedangkan anak perempuan
satu-satunya, ia bertugas memasak untuk di makan anggota keluarganya.
Jangan bayangkan menunya adalah aneka macam masakan, yang ada hanya menu
satu-satunya, yaitu bubur tanpa lauk! Kecuali garam sebagai pembeda
rasa tawar. Dengan menu bubur yang dicampur banyak air itulah yang ia
makan setiap hari guna menghemat pengeluaran rutinnya.
Yang
sangat mengagumkan bagi saya adalah, sosok sang ayah pada keluarga
sederhana ini. Ia bukanlah seseorang yang dianugerahi lengkap anggota
tubuhnya, melainkan ia tidak memiliki tangan kanan kecuali hingga ruas
tangannya, tidak memiliki kaki kanan kecuali pangkal lututnya! Cara
berjalannya pun, (maaf) loncat-loncat seperti pocong.
Saya tidak
habis pikir, bagaimana bisa ia selincah itu menaiki pohon kelapa
setinggi itu? Ia bisa memanjat 4-10 pohon kelapa dalam sehari! Luar
biasa untuk orang semacam bapak ini. Dari raut wajahnya, ia punya
kharisma, seseorang yang sangat optimis dalam menjalani lanjutan setiap
episode hidupnya. Yang saya tahu tentang beliau adalah: Sosok laki-laki
yang teguh bertanggung jawab atas biduk keluarga yang ia pimpin.Tanpa
keluh!
Selain beraktivitas seperti diatas, ia juga sering dimintai
tolong oleh warga sekitar untuk memijat. Walaupun tidak setiap hari,
profesi pemijat dapat sebagai tambahan uang belanja untuk istri dan
keluarganya.
Ketika ditanya oleh host acara tersebut, kenapa ia
tidak istirahat saja dan berhenti dari aktivitasnya sebagai pemanjat
pohon kelapa. Dengan tenang ia menjawab: ”Saya malu sama Allah bila
berhenti dari ikhtiar menjemput rizki, memanjat pohon kelapa dan membuat
bajong adalah keahlian saya. Saya tidak pernah merasa mengeluh atas apa
yang saya miliki.” dengan logat Madura yang khas. “Saya
bersyukur mendapatkan seorang istri yang sangat setia dan mau menerima
saya bagaimanapun keadaan saya. Dikarunia seorang anak perempuan yang
sangat mengerti akan keadaan keluarga, sudah cukup bagi saya untuk modal
menjalani sisa hidup ini” lanjutnya.
Ketika istrinya giliran
ditanya kenapa ia mau dinikahi oleh suami yang notabene kondisinya
serba terbatas seperti itu, ia menjawab singkat: ”Saya sangat mencintainya, apa adanya...” titik. Mbrebes mili
saya mendengar jawaban sepasang suami istri itu. Dalam suasana dan
kondisinya, ia masih dapat melontarkan rasa syukur dengan entengnya.
Dalam hal syukur, Kalah telak saya!!!
Sahabatku fillah... Nikmat apa yang hendak engkau dustakan....? Tidak harus mengeluh yang didahulukan.
----------------
Menggerakkan
jari-jari tangan dan kaki adalah hal yang biasa bagi kita, namun adalah
harga yang sangat mahal bagi mereka yang tidak di karunia keduanya.
Memasang
tali sepatu sendiri adalah bukan kegiatan istimewa menurut banyak
orang, namun bagi orang tua si anak penyandang autis, hal itu adalah
sebuah kemajuan pesat atas prestasi anaknya yang patut di banggakan.
Dari keluarga kecil lagi sederhana ini, mari belajar memaknai nikmat yang lama tidak kita perhitungkan... “Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan...”
0 komentar:
Posting Komentar