Jumat, 31 Januari 2014

BELAJAR SYUKUR DARI NEGERI SUMENEP


Sebuah kecelakaan yang terjadi hampir 7 bulan lalu memaksa saya untuk rest at home yang menyebabkan diri saya absen dalam jangka beberapa bulan dari aktivitas biasanya. Kecelakaan saat itu mencederai kaki kiri saya. Kecelakaan lalu lintas semacam ini bukanlah yang pertama kali. 15 bulan lalu, tangan kanan saya yang harus di bopong 1,5 bulan lamanya. Sebab itulah, menghadapi cobaan kali itu mental saya jauh lebih siap ketimbang kejadian pertama dulu. Alhamdulillah, tidak ada gugup dan kehebohan sendiri yang saya ciptakan, landai-landai saja. Tapi kalau masalah sakit, nah... jangan ditanya, itu yang tidak bisa di tahan, sama sakitnya! Hedew.

Selama istirahat dirumah, tidak ada aktivitas berarti yang saya lakukan. Bukan karena malas, melainkan gerakan tubuh saya yang sangat terbatas. Note book putih kecil inilah yang setia menenemani saya sampai dini hari, untuk melampiaskan hobi yang masih bisa saya lakukan, menulis. Ya... menulis apapun. Ups, ada satu lagi hobi yang masih sangat fasih saya lakukan: Berimajinasi! (sama nggak ya dengan berhayal?). Menurut saya, dua hobi inilah yang saling mengisi menghibur saya. Habis berimajinasi, terus ditulis. Ah... amboi. Salah satu hasil tulisan imajinatif yang sempat terlahir adalah tentang anak imajinasiku, Muhammad Revolusi Dunia, yang insya Allah semoga akan terlahir secara nyata dengan selamat di tahun 2019. notenya bisa d kunjungi di catatan fb saya sekitar terbitan bulan Juni. judul tulisan nya adalah: SECARIK TULISAN TENTANG MUHAMMAD. Selain itu juga ada beberapa tulisan yang berjudul: TAYAMMUM UNIVERSALIS, LA TAHZAN, MATA UANG TUHAN, ADA CERITA DI 26, dst.
-------------
Merenung. Nah... ini juga salah satu aktivitas kesukaan saya yang kebetulan tidak terlalu melibatkan banyak anggota tubuh. Paling, salah satunya yang sering ikut terlibat adalah gerakan kedua mata dan wilayah sekitarnya yang mulai kedap-kedip tanda ngantuk. Kemudian diteruskan pula ke acara selanjutnya, tidur. Ketiduran- tepatnya-.
Pernah suatu saat, saya merenungkan tentang rasa sakit yang di timbulkan dari kaki saya yang baru saja accident. Saya bertanya pada diri sendiri: “Kenapa saya masih merasakan sakit pada kaki saya?” Lalu saya jawab-jawab sendiri “Ya... karena itulah tanda bahwa saya masih mempunyai kaki, dan rasa sakit itu adalah tanda bahwa urat syarafnya masih dapat menerima rangsangan. Bagaimana jadinya andaikan kaki ini mulai mati rasa? Wah, malah lebih payah lagi itu.” Ndak tau ya, saya tiba-tiba sok bijak sore itu. Dengan menghela nafas panjang, saya mulai memahami kembali betapa Allah masih ngeman anggota tubuh ini, sehingga masih diamanahkan kepada saya sampai sekarang. Subhanallah wal hamdulillah.
Entah ini kebetulan atau sudah direncanakan oleh Allah. Sesaat setelah perenungan itu, saya melihat di salah satu acara televisi yang menayangkan sebuah keluarga kecil yang beranggotakan sepasang suami istri dan dikaruniai satu anak perempuan beranjak remaja yang putus sekolah, dari daerah Sumenep-Madura. Mereka tinggal di sebuah gubuk reyot tak layak huni. Setiap harinya, sang suami bekerja sebagai pemanjat pohon kelapa yang menjulang tinggi guna mengambil pelepahnya, untuk dijadikan ‘bajong’, semacam keranjang yang terbuat dari pelepah kelapa. Lalu istrinya-lah yang memasarkan ke pasar desa, dan berkeliling kampung, dengan harga per buahnya 2000 perak! Sedangkan anak perempuan satu-satunya, ia bertugas memasak untuk di makan anggota keluarganya. Jangan bayangkan menunya adalah aneka macam masakan, yang ada hanya menu satu-satunya, yaitu bubur tanpa lauk! Kecuali garam sebagai pembeda rasa tawar. Dengan menu bubur yang dicampur banyak air itulah yang ia makan setiap hari guna menghemat pengeluaran rutinnya.
 Yang sangat mengagumkan bagi saya adalah, sosok sang ayah pada keluarga sederhana ini. Ia bukanlah seseorang yang dianugerahi lengkap anggota tubuhnya, melainkan ia tidak memiliki tangan kanan kecuali  hingga ruas tangannya, tidak memiliki kaki kanan kecuali pangkal lututnya! Cara berjalannya pun, (maaf) loncat-loncat seperti pocong.
Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa ia selincah itu menaiki pohon kelapa setinggi itu? Ia bisa memanjat 4-10 pohon kelapa dalam sehari! Luar biasa untuk orang semacam bapak ini. Dari raut wajahnya, ia punya kharisma, seseorang yang sangat optimis dalam menjalani lanjutan setiap episode hidupnya. Yang saya tahu tentang beliau adalah: Sosok laki-laki yang teguh bertanggung jawab atas biduk keluarga yang ia pimpin.Tanpa keluh!
Selain beraktivitas seperti diatas, ia juga sering dimintai tolong oleh warga sekitar untuk memijat. Walaupun tidak setiap hari, profesi pemijat dapat sebagai tambahan uang belanja untuk istri dan keluarganya.
Ketika ditanya oleh host acara tersebut, kenapa ia tidak istirahat saja dan berhenti dari aktivitasnya sebagai pemanjat pohon kelapa. Dengan tenang ia menjawab: ”Saya malu sama Allah bila berhenti dari ikhtiar menjemput rizki, memanjat pohon kelapa dan membuat bajong adalah keahlian saya. Saya tidak pernah merasa mengeluh atas apa yang saya miliki.” dengan logat Madura yang khas. “Saya bersyukur mendapatkan seorang istri yang sangat setia dan mau menerima saya bagaimanapun keadaan saya. Dikarunia seorang anak perempuan yang sangat mengerti akan keadaan keluarga, sudah cukup bagi saya untuk modal menjalani sisa hidup ini” lanjutnya.
Ketika istrinya giliran ditanya kenapa ia mau dinikahi oleh suami yang notabene kondisinya serba terbatas seperti itu, ia menjawab singkat: ”Saya sangat mencintainya, apa adanya...” titik. Mbrebes mili saya mendengar jawaban sepasang suami istri itu. Dalam suasana dan kondisinya, ia masih dapat melontarkan rasa syukur dengan entengnya. Dalam hal syukur, Kalah telak saya!!!
Sahabatku fillah... Nikmat apa yang hendak engkau dustakan....? Tidak harus mengeluh yang didahulukan.
----------------
Menggerakkan jari-jari tangan dan kaki adalah hal yang biasa bagi kita, namun adalah harga yang sangat mahal bagi mereka yang tidak di karunia keduanya.
Memasang tali sepatu sendiri adalah bukan kegiatan istimewa menurut banyak orang, namun bagi orang tua si anak penyandang autis, hal itu adalah sebuah kemajuan pesat atas prestasi anaknya yang patut di banggakan.
Dari keluarga kecil lagi sederhana ini, mari belajar memaknai nikmat yang lama tidak kita perhitungkan... “Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan...”
Ditulis oleh: Faiz Wildan CATATAN GUS WILDAN Updated at : 01.28

0 komentar:

Posting Komentar