Jumat, 31 Januari 2014

HUJAN DI WARUNG SATE


Ini adalah hari pertama saya menikmati kembali Si Hujan yang sudah lama kami tak bersua, setelah sekian lama dipisahkan oleh kemarau. Mungkin juga bukan pertama kalinya hujan turun di beberapa daerah lainnya, tapi sekaranglah yang pertama bagi kulit saya untuk disapanya. Baunya yang khas, menghilangkan keluhan saya yang harus tiba-tiba berbelok arah ke warung sate untuk sejenak berteduh dari sapanya. Tidak ada perlengkapan apapun untuk menyambutnya, seperti jas hujan, sandal cadangan pengganti sepatu apabila hujan tiba disaat saya berkendara bersama Muhammad Shogun, sepeda terkasih saya. Sekali lagi, tidak membuat saya keluh atas kedatangannya.  Adeeemm.... rasanya. Disinilah saya mendapatkan adegan indah yang sudah lama tidak saya tonton, seperti petang ini. Dalam warung sate.

Sembari menikmati tiap tusuknya, saya melihat anak-anak kecil berlari-lari kecil bersenandung riang, saya kira mereka sedang bernyanyi...” Tik..tik..tik,bunyi hujan diatas plafon....” *sepertinya liriknya ngga' gitu deh?*. diiringi musik hujan yang luar biasa merdu bagi mereka yang mendengar dalam-dalam. Disisi lain, mungkin juga kali ini, akan menjadi rutinitas bagi abang tukang sate dan abang-abang pedagang malam lainnya, untuk beberapa menit sekali mengelap rombongnya yang di tetesi buliran-buliran air hujan. Semoga tidak menjadikan gerutu atas aktivitas barunya ini.:). Andaikan saya ditugasi oleh Tuhan sebagai pemandu untuk hujan, akan hendak kemana rute yang sebaiknya ia harus lalui, maka saya akan memasukkan dalam agenda kunjungannya untuk berkunjung ke Bukit Panderman-Batu, yang sedang kebakaran dalam kurun tiga hari ini. Lalu menuju kedaerah yang sudah lama kekurangan air bagi rakyatnya, disusul ke daerah-daerah lain yang sedang bernasib sama. Dan, andai saja Sang Hujan mampu menembus masing-masing kalbu manungsa, maka rute selanjutnya adalah akan saya bawa untuk berkenan mampir menyirami hati-hati mereka yang gersang, yang tidak tersinggahi cinta dan kasih sayang.
Adegan ini masih berlanjut....
Dalam nada hujan, saya seolah memahami kedatanganya kali ini, ia yang ingin menjadi utusan yang dipercaya Allah sebagai penjawab bagi doa-doa para petani yang sudah lama tak dikunjunginya: tanah sawahnya yang mulai dilanda keretakan, doa-doa para gunung yang hutannya sudah banyak terbakar: disulut tangan-tangan jahil, para debu yang sudah mulai lelah beterbangan menjadi penyeimbang alam selama ditinggal Si Hujan, para sungai-sungai yang mulai  dehidrasi yang terus dituntut manusia untuk kebutuhan mereka, dan tentu, doa para fans pencium aroma tanah penghujan yang sudah lama hidung mereka  tak lagi ‘kembut-kembut’ menelusuri tiap aroma hujan bersemi. Ah... indah nian petang ini.
Dalam keriangan saya menyambut hujan, masih juga menyimpan kegundahan dalam diri ini. Yaitu, tidak banyak teman yang sama-sama tidak siap akan kedatangan hujan,yang harus menyambutnya untuk pertama kali diawal musim dengan dibarengi nikmat sate, secangir jeruk panas, atau tidak mendapati pemberhentian yang pas untuk berteduh, atau harus rela berbasah-basah dalam penyambutannya. Hmm.. apapun keadaannya, semoga tidak ada ruang keluh dalam diri mereka, semoga...
Selamat datang kembali Sahabatku, Hujan, di bumi pertiwi. Semoga datangmu adalah rahmat, bukan suatu laknat. Datanglah kembali secara terukur, agar kami menyambutmu dengan rasa yang kami sebut: Syukur.
Ditulis oleh: Faiz Wildan CATATAN GUS WILDAN Updated at : 02.01

0 komentar:

Posting Komentar