Jumat, 31 Januari 2014

TAHU PETIS


Bukan bentuk tahu, maupun rasa dari judul diatas yang saya mau tulis dalam coretan ini, karena rasanya-pun tidak ada yang spesial dari tahu petis satu ini, biasa. Namun yang spesial adalah: sosok penjual dari tahu petis keliling satu ini, dengan gerobak becak yang ia modifikasi sedemikian rupa, hingga bisa dialih fungsikan sebagai alat penjemput rizki bagi keberlangsungan kepulan asap dapur keluarganya, dengan menjual tahu-tahu tradisional yang ia kulak dari produsen tahu. Dapat anda bayangkan, betapa tidak banyak labanya, apabila dijual 500 perak /biji, dari harga kulak 400 perak/bijinya.

Sampai sekarangpun saya masih belum tahu juga siapa nama sosok satu ini, sebut saja Pak Tua. Sudah lama saya ingin menuliskan sesuatu tentang Pak Tua satu ini, entahlah, saya merasa ada sesuatu yang istimewa dari Pak Tua ini, meskipun saya tidak tahu apa keistimewaannya. Semakin lama saya menunda menulis tentang Pak Tua, sedikit demi sedikit mulai terkuak informasi tentangnya, tanpa sengaja, tanpa nyana.
--------------------
Pertama kali saya membeli dagangannya sewaktu tidak sengaja melewati jalan sekitaran Kelurahan Merjosari. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30 Wib, Melihatnya berhenti menunggu calon pembeli larut malam itu, saya mungkin sebagian dari orang yang tidak tega melihat penjual yang termangu “do nothing”sembari menunggu pembeli. Saya hampiri ia.
Sambil membungkuskan beberapa biji tahu sesuai pesanan saya, sempat terjadi percakapan singkat antara saya dan Pak tua, sangat singkat. Hingga saya mengambil hikmah dari percakapan itupun dengan kesimpulan yang sangat singkat pula,: PAK TUA YANG MERDEKA! Tidak ada keluh darinya sewaktu saya pancing apa keluh kesahnya berjualan tahu petis keliling, meskipun wajah keriputnya pekat menampakkan lelah.
Kembali saya naiki sepeda motor meninggalkan Pak Tua. Sesaat saya menoleh kepadanya, saya melihat Pak Tua kembali menyeruput rokok kreteknya yang tadi ia letakkan sejenak sewaktu melayani pembeli, sebagai pengusir hawa dingin, dengan kopyahnya yang hitam kemerah-merahan usang, dan baju koko lengan panjangnya yang mulai memudar selalu setia menemaninya melewati malam itu, Pak Tua kembali duduk disamping gerobaknya, termangu menunggu calon pembeli selanjutnya. Seperti semula. Sabar dan telaten, sembari menata kembali tumpukan tahu yang masih tersisa.
----------------------
Tanpa sadar, selang berjalannya waktu, saya termasuk dalam daftar salah satu pelanggannya. Sekali lagi, bukan karena rasa tahu petisnya yang membikin saya ketagihan untuk membelinya, melainkan karena kekaguman saya atas sosok ini, meskipun apabila ada yang bertanya: apa penyebab kekaguman itu muncul, saya akan menjawab: ”Entahlah, saya belum tahu...”
----------------------
Kira-kira satu bulan lalu, suatu sore dalam perjalanan sepulang saya dari kantor, tanpa sengaja saya berpapasan dengan Pak Tua yang baru berangkat memulai berjualan melewati jalan jurang menanjak di sekitaran dusun Klandungan, ia mendorong gerobak sekuat tenaga tuanya menaiki jalan tanjakan itu. Namun kali ini saya diperlihatkan dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Biasanya, saya menjumpai Pak Tua selalu dimalam hari, ia sendirilah yang mendorong gerobaknya. Saya tidak tahu kalau ternyata ada rutinitas setiap sore sewaktu ia baru berangkat meninggalkan rumah untuk berjualan, ia selalu dibantu oleh seorang perempuan remaja berperawakan kecil, wajahnya bersih, berjilbab. Ia-lah anak Pak Tua itu, yang selalu membantunya setiap sore melewati jalan tanjakan itu.
Subhanallah. Kalau hari-hari biasanya,saya dikagumkan dengan sosok tua pemangku tulang punggung keluarga ini, kini bertambah kekaguman saya kepada tokoh gadis berhijab, anak Pak Tua. Salut atas salah satu pengabdiannya, ketidak gengsinya mendorong gerobak membantu bapaknya yang sudah nampak jelas kerutan diwajahnya.
Sisa perjalanan pulang saya sore itu, saya memperoleh pelajaran berharga akan kekompakan anak dan bapak penjual tahu petis keliling. Tidak terasa, ada sesuatu yang mengalir dari kelopak mata saya melihat pemandangan sore itu.
-----------------
15 hari kemudian...
Kemarin malam, kebetulan sewaktu saya membeli martabak dikawasan Merjosari, seseorang pemilik kios martabak berkata kepada rekan sejawatnya: “Cak, sampean percaya ta ga’, wong seng dodol tahu petis iku, ana’e mulai SD sampe kuliah oleh beasiswa terus lo...” sambil menunjuk kearah Pak Tua penjual tahu petis yang kebetulan sedang berhenti didepan seberang jalan,persis seperti pertama kali saya membeli tahu yang saya ceritakan sebelumnya.
Ana’e kuwi wes tau dikirim pertukaran pelajar nang Jepang barang...” imbuhnya dengan memakai logat jawa yang medok. Sedangkan saya, hanya mendengar perbincangan mereka berdua. Sungguh, semua informasi itu terjadi secara kebetulan saja. Sumber lain mengatakan, Pak tua adalah seorang yang aktif dalam ubudiyah kesehariannya. Mungkin Allah sedang memberikan informasi melalui pemilik kios martabak akan kekaguman saya atas Pak Tua yang selama ini belum saya ketahui.
Subhanallah, bertambah lagi ketakjuban saya akan keluarga tersebut. Ditengah keterbatasannya itu, Pak Tua masih mampu mengantarkan dan membimbing anaknya menjadi generasi yang luar biasa.
Mungkin banyak diantara kita yang lebih beruntung nasibnya, yang terlahir dari orang tua yang serba berkecukupan. Tapi perlu diingat, jangan pernah mengandalkan nama besar orang tua sebagai tameng mempertebal gengsi dan lifesyle. Dimana selalu menikmati, menenteng dan gonta-ganti hp seri terbaru, tablet, kendaraan kinyis-kinyis, yang tanpa kita rasakan jerih payah orang tua membelikannya untuk kita. Sudah saatnya belajar memulai mencari jati diri!
 “Laisa ‘al-fata’/syabab man yaqulu hazda abi, walakinnassyabab/’al fata’ man yaqulu ha ana zda...
Bukanlah pemuda sejati yang mengekor nama besar orang tua, ini loh Bapakku! Melainkan pemuda sejati adalah yang mengatakan, ini loh jati diriku!
Ditulis oleh: Faiz Wildan CATATAN GUS WILDAN Updated at : 02.07

0 komentar:

Posting Komentar